BeritaYogya.com – Dosen Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan UGM, Hatma Suryatmojo, menjelaskan bahwa fenomena kekeringan Sungai Eufrat dipicu oleh kombinasi perubahan iklim dan aktivitas manusia.
Secara alamiah, jumlah air di bumi tidak berkurang, namun terjadi ketidakseimbangan distribusi akibat peningkatan suhu global. Hal ini menyebabkan sebagian wilayah mengalami banjir, sementara daerah lain seperti Afrika dan Timur Tengah justru menghadapi kekeringan panjang.
Selain faktor iklim, aktivitas antropogenik seperti pemanfaatan sumber daya alam secara besar-besaran dan pembangunan bendungan turut memperparah kondisi sungai yang melintasi Turki, Suriah, dan Irak ini.
Sungai Eufrat sebenarnya memiliki potensi air tanah yang melimpah berkat cekungan besar yang mampu menampung air hujan dalam jumlah signifikan. Namun, pembangunan Bendungan Ilisu di Turki dilaporkan memangkas pasokan air ke Suriah hingga 60 persen.
NASA melaporkan bahwa Sungai Eufrat telah mengalami penurunan debit air sejak 2003 akibat sedimentasi dan perubahan iklim. Suriah sendiri sedang mengalami musim kering terburuk dalam beberapa dekade, dengan curah hujan pada 2021–2023 menjadi yang terendah dalam 35 tahun terakhir.
Kekeringan ini telah memunculkan dasar sungai yang mengandung mineral mengilap, memicu puluhan warga untuk berburu emas dengan menggali bantaran sungai.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana perubahan iklim dan intervensi manusia dapat mengubah landscape hidrologis secara drastis, dengan implikasi serius terhadap ekosistem dan masyarakat yang bergantung pada sungai tersebut.