Neurodiversity di Kampus: Memahami Gaya Belajar Mahasiswa dengan ADHD/Autisme

2
Ilustrasi Neurodiversity ADHD (Foto: Istimewa)
Ilustrasi Neurodiversity ADHD (Foto: Istimewa)

BeritaYogya.com – Dunia pendidikan tinggi semakin menyadari pentingnya mengakomodasi keragaman neurologis (neurodiversity) di lingkungan kampus. Mahasiswa dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan autisme sering kali memiliki cara berpikir dan belajar yang unik, yang justru dapat menjadi kekuatan dalam konteks akademik jika difasilitasi dengan tepat. Banyak universitas kini bergerak meninggalkan pendekatan “one-size-fits-all” dan mulai mengembangkan sistem pembelajaran yang lebih inklusif, mengakui bahwa perbedaan neurologis bukanlah kekurangan, melainkan variasi alami dari otak manusia.

Mahasiswa dengan ADHD biasanya menghadapi tantangan dalam fokus jangka panjang dan manajemen waktu, tetapi mereka sering kali unggul dalam pemikiran kreatif, pemecahan masalah di luar kotak, dan energi tinggi untuk proyek-proyek yang menarik minat mereka. Di sisi lain, mahasiswa autistik mungkin mengalami kesulitan dalam interaksi sosial dan perubahan rutinitas, tetapi banyak yang memiliki kemampuan luar biasa dalam memperhatikan detail, berpikir logis, dan berkonsentrasi mendalam pada topik spesifik. Beberapa kampus progresif mulai menawarkan akomodasi seperti ruang belajar bebas distraksi, fleksibilitas waktu pengumpulan tugas, atau penggunaan teknologi asistif untuk membantu mahasiswa neurodiverse mengoptimalkan potensi akademik mereka.

Layanan dukungan untuk mahasiswa neurodiverse semakin berkembang di berbagai universitas. Pusat pembelajaran khusus menyediakan strategi seperti “chunking” (memecah materi menjadi bagian kecil), penggunaan organizer visual, atau rekaman kuliah untuk ditinjau kembali. Beberapa kampus bahkan menawarkan program mentoring di mana mahasiswa neurodiverse bisa belajar dari senior yang memiliki pengalaman serupa. Yang lebih penting adalah pelatihan untuk dosen dan staf tentang bagaimana menciptakan lingkungan kelas yang ramah neurodiversity, seperti memberikan instruksi yang jelas, memungkinkan penggunaan fidget tools, atau memberikan pilihan untuk berpartisipasi dalam diskusi kelas melalui cara alternatif.

Tantangan terbesar dalam menciptakan kampus yang benar-benar inklusif sering kali terletak pada perubahan pola pikir. Banyak orang masih menganggap ADHD atau autisme sebagai gangguan yang harus “diobati”, bukan sebagai perbedaan neurologis yang membutuhkan pendekatan berbeda. Pendidikan dan kesadaran tentang neurodiversity menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan akademik yang tidak hanya mengakomodasi, tetapi benar-benar menghargai dan memanfaatkan kekuatan dari berbagai cara berpikir ini. Ketika kampus berhasil menciptakan ekosistem yang mendukung, mahasiswa neurodiverse tidak hanya bisa bertahan, tetapi sering kali menjadi kontributor unggul dalam penelitian dan inovasi.

Masa depan pendidikan tinggi yang benar-benar inklusif membutuhkan pengakuan bahwa tidak ada satu “cara normal” untuk belajar atau berpikir. Dengan memahami dan mendukung gaya belajar mahasiswa ADHD dan autistik, kampus tidak hanya memenuhi tanggung jawab sosialnya, tetapi juga memperkaya komunitas akademik dengan perspektif-perspektif baru yang berharga. Inklusi neurodiversity pada akhirnya akan menguntungkan semua mahasiswa, karena menciptakan lingkungan belajar yang lebih fleksibel dan menghargai berbagai cara untuk menjadi cerdas dan sukses secara akademis.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini