
BeritaYogya.com – Malam Satu Suro selalu diwarnai dengan berbagai ritual yang sarat makna, salah satunya adalah tradisi ngumbah keris atau jamasan pusaka. Bagi masyarakat Jawa, ritual ini bukan sekadar membersihkan keris dari kotoran dan karat, tetapi juga menjadi bentuk penghormatan terhadap benda-benda pusaka yang dianggap memiliki nilai spiritual dan historis tinggi.
Keris, sebagai salah satu pusaka utama, tidak hanya dipandang sebagai senjata, melainkan juga sebagai simbol warisan leluhur yang menyimpan energi dan sejarah. Proses ngumbah keris melibatkan persiapan khusus, termasuk puasa pati geni—di mana seseorang harus berdiam diri dalam ruangan tertutup selama satu hari satu malam sebelum ritual dimulai. Setelah itu, pusaka direndam menggunakan bahan-bahan tertentu untuk menghilangkan karat sekaligus membersihkannya dari energi negatif.
Tidak hanya keris, berbagai benda pusaka lain seperti senjata tradisional, kereta kuda, bendera, gamelan, hingga manuskrip kuno juga melalui proses serupa. Menurut situs resmi Keraton Yogyakarta, ritual ini memiliki dua aspek utama: teknis dan spiritual. Dari sisi teknis, tujuannya adalah merawat dan melestarikan benda-benda bersejarah. Sementara dari sisi spiritual, jamasan pusaka menjadi bagian dari penyambutan Malam Satu Suro, yang dianggap sebagai malam sakral penuh refleksi dan pengharapan.
Meski sempat menuai pertanyaan terkait unsur kepercayaan, tradisi ini tetap bertahan dan dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Jawa, terutama di lingkungan keraton dan komunitas yang masih menjaga adat. Ngumbah keris tidak hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga menjadi simbol pelestarian budaya dan penghargaan terhadap warisan nenek moyang yang terus hidup di tengah modernitas.