BeritaYogya.com – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 100 gigawatt merupakan langkah strategis untuk menjawab tantangan transisi energi di Indonesia.
Rencana pemerintah yang meliputi 80 GW PLTS terdistribusi di 80.000 desa melalui Koperasi Desa Merah Putih dan 20 GW PLTS terpusat dipandang sebagai inisiatif elektrifikasi pedesaan dan energi terbarukan terbesar di Asia Tenggara.
CEO IESR Fabby Tumiwa menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi energi surya sangat besar, mencapai 3.300-20.000 GW. Jika terlaksana dengan baik, program ini akan mengatasi tiga masalah utama: penyediaan akses energi yang andal dan terjangkau bagi masyarakat desa, substitusi pembangkit diesel untuk mengurangi biaya produksi listrik, serta peningkatan bauran energi terbarukan untuk menekan emisi gas rumah kaca.
Namun, implementasi proyek berskala besar ini menghadapi sejumlah tantangan, terutama terkait kesiapan tenaga kerja terlatih. Fabby mengestimasi bahwa setiap 1 MW PLTS membutuhkan 30-50 tenaga kerja dengan berbagai keahlian selama 9-12 bulan.
Untuk itu, diperlukan pelatihan masif melalui Balai Latihan Kerja, sekolah vokasi, dan perguruan tinggi, termasuk melibatkan komunitas lokal.
IESR juga merekomendasikan agar pemerintah menetapkan program ini sebagai Program Strategis Nasional dan membentuk Satuan Tugas khusus untuk mengoordinasikan seluruh pemangku kepentingan.
Dengan persiapan yang matang, program PLTS 100 GW tidak hanya akan memenuhi kebutuhan energi tetapi juga mendorong industri fotovoltaik dalam negeri, menciptakan lapangan kerja hijau, dan menggerakkan ekonomi desa.