BeritaYogya.com – Dari pelabuhan Messina di Sisilia pada Oktober 1347, teriakan-teriakan panik mulai bergema—kapal-kapal Genoa yang berlabuh membawa bukan hanya rempah-rempah, tetapi juga “kematian hitam” yang dalam beberapa tahun berikutnya akan mencabut nyawa sepertiga penduduk Eropa. Black Death, wabah pes yang disebabkan bakteri Yersinia pestis, menjadi bencana demografis terbesar dalam sejarah manusia yang mengubah lanskap sosial, ekonomi, dan religius Eropa selamanya.
Wabah ini menyebar dengan kecepatan mengerikan melalui dua bentuk: pes bubonik yang ditularkan kutu pada tikus, dan pes pneumonik yang menyebar melalui udara. Gejalanya mengerikan—demam tinggi, bubo (pembengkakan kelenjar getah bening) sebesar apel di selangkangan atau ketiak, serta bercak hitam di kulit akibat pendarahan internal. Korban biasanya meninggal dalam 3-7 hari setelah terinfeksi. Florence kehilangan separuh populasinya dalam 4 bulan, Paris 800 orang per hari, sementara Venesia yang canggih pun tak berdaya menyaksikan 600 kematian harian.
Reaksi masyarakat abad pertengahan yang belum memahami ilmu medis modern pun beragam dan penuh keputusasaan. Banyak yang mengira wabah sebagai kutukan Tuhan, sehingga kelompok flagellant berjalan dari kota ke kota sambil mencambuk diri sendiri sebagai penebusan dosa. Tragisnya, orang Yahudi sering dijadikan kambing hitam—di Mainz saja, 6.000 Yahudi dibakar hidup-hidup dalam pogrom mengerikan. Sementara para dokter mengenakan topeng paruh berisi rempah (yang justru menjadi sarang kutu) sebagai “alat pelindung”.
Dampak sosial Black Death bersifat paradoks. Kematian massal buruh tani justru meningkatkan nilai tenaga kerja, memicu kerusuhan petani dan akhirnya runtuhnya sistem feodal. Universitas-universitas kehilangan begitu banyak cendekiawan sehingga kurikulum mulai bergeser dari teologi ke ilmu praktis. Seni dan sastra diwarnai tema memento mori (ingatlah kematian), sementara gereja kehilangan kredibilitas karena gagal menghentikan wabah.
Wabah ini akhirnya mereda sekitar 1353, tetapi kembali muncul secara berkala selama 300 tahun berikutnya. Warisannya abadi—dari karantina kesehatan pertama di Ragusa (kini Dubrovnik), konsep quarantena (40 hari isolasi), hingga perubahan radikal dalam struktur masyarakat Eropa yang membuka jalan ke Renaisans. Black Death mengajarkan umat manusia pelajaran pahit: peradaban yang paling megah pun bisa tumbang oleh makhluk tak kasat mata, tetapi dari reruntuhan itu selalu lahir tatanan dunia baru.