Baru 19 hari. Rentang waktu antara 17 Agustus hingga 5 September 1945 adalah periode yang paling menentukan dalam sejarah bangsa. Setelah Proklamasi, Republik Indonesia berada di persimpangan jalan—sebuah negara yang baru lahir harus segera membangun fondasi di tengah situasi yang amat genting.
Para pendiri bangsa di Jakarta bergerak cepat. Melalui sidang BPUPKI dan PPKI, mereka merumuskan dasar filosofis negara dan menyusun rancangan Undang-Undang Dasar yang kelak menjadi hukum tertinggi. Namun, proses ini tidaklah mudah. Legitimasi pemerintah pusat masih rapuh, kas negara kosong, dan informasi kemerdekaan belum menyebar luas.
Di tengah kondisi itu, ancaman dari luar datang silih berganti. Pasukan Jepang masih bersenjata. Sementara itu, Sekutu, bersama Belanda melalui NICA, bersiap kembali menancapkan kekuasaan. Kekosongan kekuasaan ini berpotensi memicu kekacauan dan perpecahan, bahkan bisa menggagalkan berdirinya negara merdeka.

Peran Krusial Yogyakarta
Sebelum Amanat 5 September 1945, Yogyakarta telah memberikan kontribusi besar dalam perumusan fondasi negara. Kita tak boleh melupakan peran para tokoh asal Yogyakarta yang aktif di BPUPKI dan PPKI. Mereka adalah Dr. Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat, yang sebagai Ketua BPUPKI berhasil memicu lahirnya gagasan Pancasila melalui pertanyaan mendasarnya: “Negara Indonesia merdeka yang akan kita bentuk, dasarnya apa?”.
Selain beliau, ada pula Bandoro Pangeran Hario Purubojo, Bendoro Pangeran Hario Bintoro, Abdul Kahar Muzakir, Ki Bagus Hadikusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Mereka semua turut andil dalam memperjuangkan fondasi negara yang baru lahir.
Amanat 5 September: Sebuah Deklarasi Politik Luar Biasa
Di tengah ketidakpastian itu, Yogyakarta mengambil langkah paling bersejarah. Hanya 19 hari setelah Proklamasi, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan Amanat 5 September 1945.
Ini bukanlah sekadar pengakuan. Ini adalah sebuah deklarasi politik luar biasa. Melalui Amanat ini, Yogyakarta secara sukarela menyatakan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia. Keputusan ini memberikan legitimasi moral dan politik yang sangat dibutuhkan bagi pemerintah pusat. Lebih dari itu, langkah ini menjadi dorongan semangat yang tak ternilai bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan keberanian politiknya, Yogyakarta bukan hanya mendukung, melainkan secara aktif melengkapi syarat-syarat terbentuknya suatu negara: adanya rakyat yang mendukung, wilayah teritorial yang diakui, pemerintahan yang berdaulat, serta pengakuan dari entitas lain.
Pada akhirnya, Amanat 5 September 1945 menunjukkan bahwa Yogyakarta adalah penopang penting bagi tegaknya Republik. Keistimewaan yang kita nikmati hari ini bukanlah hadiah, melainkan hasil dari sebuah keputusan heroik yang mengukuhkan Indonesia di awal-awal kemerdekaannya.
Opini :
Oleh: Dr. Raden Stevanus Christian Handoko, S.Kom., M.M.
Anggota DPRD DIY