BeritaYogya.com – Di tengah gemuruh politik Mediterania kuno, seorang ratu berdiri tegak—tak sekadar sebagai pemimpin, melainkan maestro permainan kekuasaan. Cleopatra VII Philopator, wanita terakhir yang memerintah Mesir Kuno, bukanlah sekadar wajah cantik dalam narasi sejarah. Ia adalah politisi ulung, poliglot yang fasih sembilan bahasa, dan ahli strategi yang bermain catur kekuasaan dengan Kekaisaran Romawi sebagai bidaknya.
Naik tahta di usia 17 tahun sebagai rekan-pemimpin dengan adiknya Ptolemy XIII, Cleopatra segera menunjukkan keunggulan intelektualnya. Terdepak dari Aleksandria oleh persekongkolan istana, ia kembali dengan pasukan—dan dengan langkah jenius, menjerat Julius Caesar dalam drama penyelamatan diri yang berujung pada persekutuan legendaris. Gulungan papirus yang dibawanya sebagai hadiah untuk Sang Diktator bukan sekadar karpet merah—itu adalah simbol seorang intelektual yang tahu cara memikat penguasa terkuat di dunia.
Kematian Caesar mengubah panggung, tapi bukan permainannya. Dengan Antony, ia menciptakan simfoni kekuasaan Timur-Barat yang menggetarkan Roma. Pesta di Aleksandria bukan sekadar kemewahan—tiap jamuan adalah siasat diplomasi, tiap hadiah adalah gerakan politik. Ketika ia berlayar dengan kapal berlapis emas menyambut Antony di Tarsus, itu bukan parade kecantikan—itu adalah teater kekuasaan yang dirancang sempurna.
Kekalahan di Actium mungkin mengakhiri kisahnya, tapi bukan warisannya. Kematiannya dengan ular kobra bukan sekadar bunuh diri—itu adalah pernyataan terakhir seorang ratu yang memilih mengendalikan akhir ceritanya sendiri. Cleopatra bukan korban sejarah, melainkan arsitek nasibnya sendiri—wanita yang menjadikan seluruh Mediterania sebagai panggung, dan dunia sebagai penontonnya.
Dari reruntuhan kuil-kuil Mesir hingga drama Shakespeare, sang ratu tetap hidup—bukan sebagai objek romansa, melainkan sebagai bukti bahwa kecerdasan dan ambisi bisa membuat seorang wanita mengubah alur sejarah.