BeritaYogya.com – Investasi emas dan reksadana sama-sama populer di kalangan investor ritel Indonesia, tetapi keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Emas, sebagai instrumen investasi konvensional, menawarkan kestabilan harga dan perlindungan terhadap inflasi.
Logam mulia ini cenderung naik nilainya dalam jangka panjang, dengan catatan harga emas batangan Antam naik rata-rata 8-10% per tahun selama lima tahun terakhir. Keunggulan utama emas adalah sifatnya yang tangible (berwujud) dan likuid, bisa dijual kapan saja melalui berbagai channel seperti pegadaian atau toko emas.
Di sisi lain, reksadana menawarkan potensi keuntungan lebih variatif tergantung jenisnya. Reksadana pendapatan tetap bisa memberikan return 6-8% per tahun, sementara reksadana saham berpotensi menghasilkan 15-20% di pasar bullish. Kelebihan reksadana terletak pada diversifikasi otomatis, kemudahan transaksi via aplikasi, dan minimal modal yang sangat terjangkau (bisa dimulai dari Rp10.000). Namun, reksadana juga membawa risiko fluktuasi pasar yang lebih tinggi dibanding emas.
Untuk menentukan pilihan terbaik, pertimbangkan beberapa faktor:
- Profil risiko: Emas lebih cocok untuk investor konservatif, sementara reksadana saham untuk yang berani mengambil risiko lebih tinggi
- Jangka waktu: Emas ideal untuk tujuan jangka panjang (>5 tahun), reksadana bisa untuk menengah (3-5 tahun)
- Likuiditas: Emas lebih mudah dicairkan secara instan
- Biaya: Reksadana mengenakan biaya manajemen, emas ada spread harga jual-beli
Ahli perencana keuangan menyarankan alokasi ideal adalah 40% emas dan 60% reksadana untuk portofolio seimbang. “Gabungan keduanya bisa memberikan perlindungan nilai sekaligus pertumbuhan aset,” jelas Budi Santoso, CFP dari Asosiasi Perencana Keuangan Indonesia. Yang terpenting, pahami tujuan finansial dan kesiapan menanggung risiko sebelum memilih instrumen investasi.