Oleh : Dr. Raden Stevanus Christian Handoko, S.Kom., M.M
Anggota DPRD DIY | Pengalaman lebih dari 14th di perusahaan ICT
Dalam satu dekade terakhir, istilah “sharing economy” atau ekonomi berbagi telah menjelma menjadi simbol transformasi ekonomi digital. Ia hadir membawa janji kolaborasi yang inklusif, efisien, dan berkelanjutan. Narasi seperti “berbagi alih-alih memiliki” atau “kebebasan bekerja secara mandiri” menjadi jargon utama perusahaan platform digital seperti layanan transportasi online, akomodasi berbagi, hingga jasa pesan-antar. Namun di balik retorika idealis tersebut, tersembunyi praktik-praktik yang justru memperkuat ketimpangan dan eksklusi, bukan menguranginya.
Realitas di lapangan memperlihatkan bahwa ekonomi berbagi kerap kali tidak menghadirkan kolaborasi sejati, melainkan menjadi model bisnis yang memanfaatkan teknologi untuk memaksimalkan keuntungan sambil meminimalkan tanggung jawab terhadap tenaga kerja.
Platform digital bukan sekadar mengguncang tatanan industri tradisional, tetapi juga membentuk arsitektur kerja baru yang sarat dengan ekses eksploitatif. Teknologi, yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan, justru digunakan untuk mengendalikan dan mendisiplinkan tenaga kerja dalam bentuk-bentuk baru yang sulit disentuh oleh kerangka hukum konvensional.
Dalam ekosistem ini, lahirlah kelas pekerja baru yang kian membesar: precariat, yakni mereka yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, tanpa perlindungan hukum, serta tanpa akses terhadap jaminan sosial yang layak. Mereka bukan pegawai tetap, namun juga tidak sepenuhnya wirausaha. Mereka hidup di ruang abu-abu hukum, terperangkap dalam relasi kerja yang dibingkai sebagai “kemitraan”, padahal dalam praktiknya tunduk penuh pada kontrol sistem yang terpusat.
Chai dan Scully (2019) menyebut kondisi ini sebagai “obscuring and securing” strategi untuk menyamarkan relasi kerja yang eksploitatif melalui narasi fleksibilitas, sambil secara bersamaan mengunci nilai lebih dari kerja melalui kendali sistem digital yang tak kasatmata. Alih-alih menjadi alternatif atas kapitalisme eksploitatif, platform digital justru tampil sebagai wajah baru dari kapitalisme yang lebih tersembunyi, lebih sistemik, dan lebih dalam menancapkan kuasanya.
Narasi Ideal yang Menyesatkan. Etter, Fieseler, dan Whelan (2019) menyatakan bahwa harapan awal terhadap ekonomi berbagi kini telah dibajak oleh kepentingan kapitalistik. Platform digital tidak lagi berfungsi sebagai penghubung antarindividu, melainkan menjadi struktur vertikal yang dikendalikan oleh entitas korporasi raksasa. Relasi kerja dikemas dalam istilah kemitraan yang tampak setara, tetapi di balik itu pekerja tidak memiliki kuasa atas harga, kontrak, bahkan akses terhadap pekerjaan, karena semuanya dikendalikan oleh algoritma yang tidak transparan.
Predatory Platform dan Kekosongan Regulasi. Jose Rodolfo Hernandez-Carrion (2021) menyebut bahwa banyak platform digital beroperasi dalam “institutional vacuum”, yakni kekosongan institusional yang memungkinkan mereka menghindari pengawasan dan tanggung jawab hukum. Lewat praktik “regulatory arbitrage”, perusahaan memilih yurisdiksi atau definisi hukum yang paling menguntungkan dan paling minim tanggung jawab. Negara belum cukup sigap dalam menyesuaikan regulasi ketenagakerjaan dengan realitas baru. Akibatnya, pasar tenaga kerja berubah menjadi pasar ultra-fleksibel yang meromantisasi ketidakpastian, sembari secara struktural memproduksi kelas precariat dalam skala luas.
Teknologi sebagai Alat Kontrol. Teknologi sering diasosiasikan dengan kebebasan dan efisiensi. Namun dalam konteks platform digital, ia menjadi instrumen pengawasan dan kontrol yang bekerja tanpa suara. Sistem rating, algoritma penugasan, hingga pemblokiran akun sepihak menjadikan pekerja tunduk pada sistem yang tak bisa digugat, tak bisa dinegosiasikan. Chai dan Scully menunjukkan bahwa teknologi dalam platform digunakan untuk memantau, menilai, dan mengendalikan, tanpa memberi ruang kuasa atau visibilitas bagi pekerja. Mereka bekerja dalam sistem tertutup yang menghilangkan peran manusia dan menyamarkan akuntabilitas.
Negara Harus Hadir. Ketimpangan yang lahir dari model predatory platform ini bukanlah konsekuensi alami dari kemajuan teknologi, melainkan hasil dari kegagalan negara dalam melindungi warganya. Ketika regulasi tidak diperbarui, negara secara tak langsung membiarkan pasar menentukan nasib pekerja digital. Negara tidak boleh terus mengafirmasi ilusi bahwa pekerja platform adalah mitra mandiri. Mereka adalah pekerja nyata yang membutuhkan perlindungan nyata.
Karena itu, saya menyerukan empat langkah strategis yang perlu segera diambil negara. Pertama, merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan memperluas definisi hubungan kerja agar mencakup bentuk-bentuk kerja digital. Kedua, menyusun Undang-Undang Ekonomi Platform Digital yang mengatur tanggung jawab sosial dan hukum perusahaan digital terhadap para pekerjanya, termasuk transparansi algoritma dan hak atas keadilan digital. Ketiga, menegakkan prinsip keadilan algoritmik melalui mekanisme pengawasan independen agar keputusan otomatis yang diambil sistem tidak melanggar hak-hak dasar manusia. Dan keempat, menghadirkan skema Jaminan Sosial Universal yang tidak bergantung pada status kerja formal, namun memberikan perlindungan dasar bagi seluruh jenis pekerjaan, termasuk yang bersifat fleksibel dan berbasis aplikasi.
Empat langkah ini bukan sekadar agenda regulasi, melainkan cermin keberpihakan negara terhadap martabat kerja manusia di tengah gelombang disrupsi digital. Jika negara terus pasif, maka yang tumbuh dari ekonomi digital bukanlah kemajuan yang inklusif, melainkan eksploitasi yang lebih canggih. Masa depan harus ditentukan oleh keadilan sosial, bukan oleh logika algoritma semata.