BeritaYogya.com – Dunia pendidikan tinggi sedang berada di ambang revolusi digital dengan hadirnya konsep kampus virtual di metaverse. Beberapa universitas terkemuka seperti Stanford dan Nanyang Technological University sudah mulai bereksperimen dengan menyelenggarakan kelas di platform virtual reality (VR), di mana mahasiswa dan dosen berinteraksi melalui avatar dalam lingkungan digital yang imersif.
Kuliah di metaverse menjanjikan pengalaman belajar yang lebih dinamis—bayangkan mempelajari arsitektur dengan menelusuri replika bangunan kuno, praktikum kimia dengan simulasi 3D yang aman, atau diskusi kelompok di taman virtual sambil menikmati pemandangan digital yang menenangkan.
Salah satu potensi terbesar metaverse adalah kemampuannya menghilangkan batasan geografis. Mahasiswa dari berbagai belahan dunia bisa “hadir” di ruang kuliah yang sama tanpa perlu meninggalkan negara asal, mengurangi biaya hidup dan transportasi. Teknologi ini juga membuka kemungkinan pembelajaran yang lebih personal dan interaktif. Dengan bantuan AI, setiap mahasiswa bisa memiliki asisten virtual yang menyesuaikan materi belajar sesuai kecepatan pemahaman mereka. Untuk bidang-bidang seperti kedokteran atau teknik, simulasi VR memungkinkan mahasiswa melakukan praktik berulang kali tanpa risiko, seperti melakukan operasi virtual atau merancang mesin dalam lingkungan 3D.
Namun, tantangan dalam implementasi kampus virtual tidak bisa dianggap remeh. Masalah aksesibilitas menjadi kendala utama—tidak semua mahasiswa mampu membeli perangkat VR canggih atau memiliki koneksi internet yang memadai untuk pengalaman yang lancar. Ada juga kekhawatiran tentang berkurangnya interaksi sosial secara nyata, yang selama ini menjadi bagian penting dari pengalaman kampus. Dosen dan mahasiswa perlu beradaptasi dengan metode pengajaran baru, di mana bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang sesungguhnya digantikan oleh gerakan avatar yang terbatas.
Selain itu, isu privasi dan keamanan data menjadi pertanyaan besar dalam ekosistem metaverse. Kampus virtual akan mengumpulkan data perilaku belajar mahasiswa dalam bentuk yang lebih kompleks, mulai dari pola perhatian hingga interaksi sosial di dunia digital. Tanpa regulasi yang ketat, data ini bisa disalahgunakan oleh pihak tertentu. Tantangan lain adalah menjaga motivasi dan disiplin belajar di lingkungan yang penuh distraksi digital—bagaimana memastikan mahasiswa benar-benar fokus pada kuliah ketika mereka bisa dengan mudah beralih ke hiburan virtual lainnya?
Meski demikian, hybrid learning yang menggabungkan elemen metaverse dengan pendidikan konvensional tampaknya akan menjadi masa depan pendidikan tinggi. Beberapa kampus sudah menguji coba model “phygital” (physical + digital), di mana kuliah teori dilakukan di metaverse sementara praktikum dan kegiatan hands-on tetap dilaksanakan di laboratorium nyata. Seiring perkembangan teknologi dan infrastruktur digital, metaverse berpotensi menjadi ruang belajar yang setara dengan kampus fisik—bukan sebagai pengganti, tetapi sebagai perluasan dari pengalaman akademik yang lebih kaya dan inklusif. Yang pasti, revolusi pendidikan di metaverse akan memaksa kita untuk memikirkan ulang arti sebenarnya dari “ruang kelas” dan “proses belajar” di era digital ini.