Sekaten Yogyakarta: Tradisi yang Masih Hidup di Tengah Modernisasi

9
Sekaten Yogyakarta (Foto: Ist)
Sekaten Yogyakarta (Foto: Ist)

BeritaYogya.com – Di tengah pesatnya modernisasi dan pergeseran budaya akibat globalisasi, Sekaten tetap menjadi salah satu warisan budaya yang paling hidup dan dirayakan di Yogyakarta. Tradisi yang telah berusia ratusan tahun ini tidak hanya menjadi simbol peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetapi juga mencerminkan kekayaan budaya yang menyatukan unsur religius, seni, dan adat istiadat Jawa.

Asal Usul Sekaten

Sekaten berasal dari kata “Syahadatain”, yaitu dua kalimat syahadat dalam ajaran Islam. Tradisi ini dimulai pada masa Kesultanan Demak, dan kemudian dilestarikan oleh Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta sebagai bagian dari syiar Islam di tanah Jawa.

Di Yogyakarta, Sekaten biasanya digelar selama seminggu, dimulai pada tanggal 5 Rabiul Awal hingga malam 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah, berpusat di Alun-alun Utara dan Masjid Gedhe Kauman.

Rangkaian Tradisi Sekaten

Pembukaan Sekaten

Rangkaian dimulai dengan prosesi Miyos Gangsa, yaitu keluarnya dua gamelan keraton: Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo dari Keraton Yogyakarta menuju Masjid Gedhe. Gamelan ini akan dimainkan secara bergantian setiap hari selama seminggu.

Pasar Malam Sekaten

Seiring prosesi sakral, digelar pula pasar malam yang menjadi daya tarik masyarakat. Di sinilah perpaduan antara budaya tradisional dan hiburan modern terjadi. Mulai dari wahana permainan, jajanan tradisional, hingga kerajinan lokal, semuanya menyemarakkan suasana.

Grebeg Maulud

Puncaknya adalah Grebeg Maulud, di mana keraton mengeluarkan gunungan hasil bumi yang diarak ke Masjid Gedhe. Gunungan ini menjadi simbol berkah dari Sultan untuk rakyat, dan selalu dinanti karena dipercaya membawa keberuntungan.

Makna Filosofis Sekaten

Syiar Islam dengan Budaya Lokal

Sekaten merupakan bentuk dakwah Islam yang dibalut dalam budaya Jawa, memudahkan masyarakat menerima ajaran baru tanpa meninggalkan akar tradisi.

Simbol Kesejahteraan dan Kerukunan

Grebeg Maulud dan gunungan menjadi simbol bahwa Sultan berbagi kemakmuran, sementara suasana pasar malam menciptakan ruang interaksi sosial lintas usia dan kelas.

Sekaten di Era Modern

Meski zaman berubah, Sekaten tetap relevan. Kehadiran teknologi dan media sosial bahkan membantu memperluas eksistensinya. Banyak generasi muda mendokumentasikan momen-momen Sekaten, menjadikannya bagian dari memori digital kolektif masyarakat Yogyakarta.

Namun, tantangan tetap ada. Beberapa nilai sakral mulai tergeser oleh aspek hiburan. Oleh karena itu, pelestarian Sekaten bukan hanya soal mempertahankan ritual, tapi juga menyampaikan nilai-nilai budaya dan spiritualnya kepada generasi berikutnya.

Sekaten adalah cermin bagaimana tradisi dapat hidup berdampingan dengan modernitas. Ia bukan sekadar festival tahunan, melainkan simbol identitas dan keberlangsungan budaya Jawa Islam yang terus berkembang. Di tengah gempuran zaman, Sekaten Yogyakarta tetap menjadi ruang sakral dan sosial yang dirayakan dengan suka cita oleh seluruh lapisan masyarakat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini