BeritaYogya.com – Presiden AS Donald Trump mengejutkan peserta KTT G7 di Kanada dengan mengusulkan kembalinya Rusia ke kelompok negara industri maju tersebut. Dalam pidato pembukaannya pada Senin (16/6/2025), Trump menyatakan bahwa pengusiran Rusia pada 2014 setelah aneksasi Crimea merupakan kesalahan besar.
“Dulu kita memiliki G8 yang berfungsi dengan baik. Saya yakin perang di Ukraina bisa dihindari jika Rusia tetap menjadi bagian dari kelompok ini,” tegas Trump di hadapan media. Pernyataan ini mengulangi posisinya pada KTT G7 2018 yang sempat memicu ketegangan dengan para pemimpin sekutu.
Trump juga memamerkan hubungan dekatnya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. “Putin hanya mau berbicara dengan saya. Dia masih sangat tersinggung dengan pengusiran itu – dan itu wajar,” ujarnya. Bahkan, Trump menawarkan Putin sebagai mediator potensial dalam konflik Israel-Iran yang sedang memanas.
Namun, pernyataan Trump mengandung kesalahan fakta ketika menyebut Justin Trudeau (bukan Stephen Harper) sebagai Perdana Menteri Kanada saat pengusiran Rusia terjadi. Mantan penasihat keamanan nasional AS John Bolton mengkritik keras usulan Trump, menyatakan bahwa Presiden AS itu tampaknya tidak memahami esensi G7 sebagai kelompok negara demokrasi dengan nilai-nilai yang sejalan.
Sikap Trump terhadap sanksi Rusia juga terlihat ambigu. Meskipun beberapa pemimpin Eropa seperti Perdana Menteri Inggris Keir Starmer berencana memperketat sanksi, Trump menyikapinya dengan skeptis. “Sanksi itu tidak sederhana. Ini menyangkut miliaran dolar. Bukan sekadar tanda tangan di atas kertas,” katanya.
Kebijakan luar negeri Trump yang kontroversial ini kembali memicu perdebatan tentang arah diplomasi AS, terutama dalam menghadapi dua krisis internasional sekaligus – konflik Ukraina dan ketegangan di Timur Tengah. Beberapa pengamat menilai Trump lebih mementingkan hubungan pribadi dengan Putin daripada kepentingan strategis Amerika Serikat dan sekutunya.
