Perjalanan Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono II: Pemimpin dan Pejuang Mataram

2
Sri Sultan Hamengku Buwono II (Foto: Kraton Yogyakarta)

BeritaYogya.com – Lahir pada tanggal 7 Maret 1750 di lereng Gunung Sindoro, RM Sundoro adalah putra kedua Sri Sultan Hamengku Buwono I dan permaisuri keduanya. Ia diberi nama Raden Mas Sundoro. Masa kecilnya dihabiskan bersama ibunya, Gusti Kanjeng Ratu Kadipaten, selama pengungsian akibat perang melawan VOC. Pengalaman ini membentuk karakter keras dalam diri Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Ketika perjanjian Giyanti terjadi, keluarga besar Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah ke Keraton Yogyakarta, dan RM Sundoro menjadi putra raja. Hubungan antara mereka semakin erat, dan pada tahun 1758, RM Sundoro diangkat menjadi putra mahkota setelah menjalani khitanan.

Awalnya, putra mahkota telah ditetapkan melalui permaisuri pertama, Raden Mas Ento, tetapi kematiannya membuat RM Sundoro menggantikannya. Sri Sultan Hamengku Buwono I berencana menjodohkan RM Sundoro dengan puteri Keraton Kasunanan Surakarta untuk menyatukan Dinasti Mataram yang terpecah, tetapi rencana itu gagal.

Saat RM Sundoro tumbuh dewasa, hubungan antara Keraton Yogyakarta dan Surakarta memburuk karena masalah batas wilayah yang tidak jelas. Perjodohan yang diusulkan gagal, dan pada tahun 1774, Perjanjian Semarang ditandatangani untuk membatasi wilayah masing-masing kerajaan.

Melalui perjanjian-perjanjian tersebut, VOC memperluas wilayahnya, dan RM Sundoro mulai membenci VOC dan orang asing secara umum. Namun, Sri Sultan Hamengku Buwono I berharap RM Sundoro bisa melindungi Yogyakarta dari ancaman bangsa asing dan menunjuknya sebagai calon pewaris tahta pada tahun 1785.

Dengan status itu, RM Sundoro mulai melindungi Yogyakarta dari ancaman VOC, termasuk menggagalkan pembangunan Benteng Rustenburg dan meningkatkan pertahanan keraton. Saat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono II pada tahun 1792, beliau menolak tuntutan VOC dan menunjuk patihnya sendiri.

Perubahan besar terjadi pada awal abad ke-19, ketika VOC bangkrut, Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Napoleon, dan Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels memberlakukan aturan yang menyulitkan kerajaan Jawa, dan Sri Sultan Hamengku Buwono II menentangnya. Ini berujung pada penaklukan VOC dan penurunan tahta Sri Sultan Hamengku Buwono II pada tahun 1810.

Setelah Inggris mengalahkan Belanda, Sri Sultan Hamengku Buwono II kembali memerintah tetapi di bawah syarat-syarat yang memberatkan. Namun, perjanjian tersebut tidak dilaksanakan karena Inggris datang dan mengusir Belanda. Setelah Inggris mundur, Sri Sultan Hamengku Buwono II mengambil kembali tahtanya. Namun, kepemimpinannya yang keras berkonflik dengan bangsa asing, dan saat Thomas Stamford Raffles memerintah, keraton diserang pada tahun 1812.

Sri Sultan Hamengku Buwono II ditangkap dan diasingkan ke Pulau Pinang hingga tahun 1815. Setelah Inggris menyerahkan kembali Jawa kepada Belanda, Sri Sultan Hamengku Buwono II dibuang ke Ambon pada tahun 1817.

Selama eksil, Yogyakarta mengalami kepemimpinan yang tidak stabil, dan perlawanan Pangeran Diponegoro terjadi. Sri Sultan Hamengku Buwono II dipulangkan dan menjadi sultan untuk yang ketiga kalinya pada tahun 1826. Kesehatannya menurun, dan beliau meninggal pada tahun 1828.

Sri Sultan Hamengku Buwono II meninggalkan warisan berupa perbaikan pertahanan keraton, sastra yang mencerminkan pertahanan dan militer, serta dukungannya terhadap seni wayang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here