Sri Sultan Hamengku Buwono VI: Sejarah dan Peninggalan di Kasultanan Yogyakarta

7
Sri Sultan Hamengku Buwono VI (Foto: Kraton Yogyakarta)

BeritaYogya.com – Lahir dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Mustojo pada tanggal 10 Agustus 1821, beliau adalah anak dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono. Pada tahun 1839, setelah berganti nama menjadi Pangeran Adipati Mangkubumi, beliau dianugerahi pangkat Letnan Kolonel oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, pada tahun 1847, pangkatnya naik menjadi Kolonel.

Saat Sri Sultan Hamengku Buwono V meninggal tanpa meninggalkan pewaris, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan Pangeran Adipati Mangkubumi sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada tanggal 5 Juli 1855, setelah 13 hari sang permaisuri, GKR Sekar Kedaton, melahirkan putra bernama GRM. Timur Muhammad atau Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Suryaning Ngalaga yang sudah dewasa. Hal ini bertujuan untuk mengatasi kekosongan pewaris.

Pada usia 27 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VI menikahi GKR Kencono, putri Susuhunan Paku Buwono VIII dari Surakarta, yang kemudian bergelar GKR Hamengku Buwono sebagai permaisuri Sultan Hamengku Buwono VI. Pernikahan ini meresmikan hubungan baik antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, yang sebelumnya sering tegang sejak Perjanjian Giyanti. Hubungan baik dengan kerajaan lain juga semakin diperkuat setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI menikahi putri Kerajaan Brunei.

Sri Sultan Hamengku Buwono VI melanjutkan pola pemerintahan perang pasif yang dijalankan oleh kakaknya, yang berbeda dengan sikap kerasnya sebelum menjadi sultan. Perubahan sikap ini kemungkinan mengecewakan beberapa pihak dan memunculkan ketegangan di Kasultanan, tetapi beliau didampingi oleh Patih Danurejo V, yang ahli dalam siasat dan membantu menyelesaikan banyak masalah rumit.

Selama pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, terjadi bencana alam yang menghancurkan, yaitu gempa bumi dahsyat pada tanggal 10 Juni 1867, yang menewaskan sekitar 500 orang dan merusak banyak bangunan, termasuk keraton. Bangunan bersejarah seperti Tugu Golog Giling dan Tamansari rusak parah. Perbaikan bangunan ini memakan waktu lama, bahkan Tugu Golong Gilig baru selesai dibangun ulang pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Gempa ini memiliki kekuatan sebesar 6,8 SR menurut International Handbook of Earthquake and Engineering Seismology.

Pengalaman traumatis akibat gempa ini membuat Sri Sultan Hamengku Buwono VI menginginkan agar peristiwa tersebut dilupakan dan meyakinkan penduduk bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi lagi. Oleh karena itu, catatan rinci tentang gempa ini hanya ada dalam ingatan orang-orang dan tidak terdapat dalam karya-karya sastra keraton.

Pada tanggal 20 Juli 1877, pada usia 56 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VI meninggal dunia dan dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri. Sebulan setelah kematiannya, tepatnya tanggal 13 Agustus 1877, putranya, Raden Mas Murtejo, naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Sri Sultan Hamengku Buwono VI meninggalkan dua karya seni tari, yaitu tari Bedhaya Babar Layar dan Srimpi Endra Wasesa. Selama masa pemerintahannya, juga dipesan kereta Kyai Wimono Putro yang digunakan dalam upacara pelantikan putra mahkota menjadi sultan. Kereta kebesaran yang masih digunakan hingga sekarang adalah Kyai Kanjeng Garudho

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here