Filosofi Mendalam Perencanaan Pembangunan Yogyakarta: Sumbu Keseimbangan Menuju Harmoni

25
Keraton Yogyakarta (Sumber: iStock)

BeritaYogya.com – Yogyakarta, sebuah kota istimewa di Indonesia, tidak hanya terkenal dengan pesona keindahan alam dan warisan budayanya yang kaya, tetapi juga dengan konsep yang melandasi kehidupan dan karakteristiknya: Sumbu Filosofi Yogyakarta.

Namun juga mengusung filosofi mendalam dalam proses pembangunannya. Filosofi ini menghantarkan kita pada Sumbu Filosofi Yogyakarta, sebuah konsep yang dipandang sebagai landasan penting dalam pembangunan kota ini.

Sumbu Filosofi Yogyakarta Sultan Hamengku Buwana I, dengan kebijaksanaannya, merancang tata kota Yogyakarta dengan landasan filosofi yang tinggi. Ia menjadikan Keraton Yogyakarta sebagai titik pusat, yang membentang dari utara ke selatan.

Tak hanya itu, Sultan juga mendirikan Tugu Golong-gilig (Pal Putih) di sisi utara Keraton, serta Panggung Krapyak di sisi selatannya. Tiga titik ini membentuk suatu sumbu imajiner yang tak hanya sekadar jalan-jalan fisik, melainkan juga membawa makna mendalam sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta

Panggung Krapyak menjadi titik awal dari tiga susunan titik Sumbu Filosofi Yogyakarta, yang bersatu dalam Sangkan Paraning Dumadi. Pertemuan simbolis antara wiji (benih) yang direpresentasikan oleh Panggung Krapyak (yoni) dengan Tugu Pal Patih (lingga) menggambarkan perjalanan kehidupan manusia, dari kelahiran hingga akhir hayatnya.

Sebaliknya, dari Tugu Pal Putih menuju Keraton Yogyakarta melambangkan perjalanan spiritual kembali menuju Sang Pencipta (paraning dumadi).

Keraton Yogyakarta, sebagai pusat dari tiga titik penting ini, menjadi gambaran kehidupan manusia dalam kedewasaan. Dan akhir dari filsafat paraning dumadi tercermin dalam kehidupan abadi di alam akhirat, yang diwakili oleh Lampu Kyai Wiji di Gedhong Prabayeksa, yang belum pernah padam sejak zaman Sultan Hamengku Buwana I.

Secara simbolis, Sumbu Filosofi Yogyakarta menggambarkan keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan (Hablun min Allah), hubungan manusia dengan sesama manusia (Hablun min Annas), serta hubungan manusia dengan alam dan unsur-unsur pembentuknya, seperti api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan angkasa (ether).

Dalam keseluruhan, Sumbu Filosofi Yogyakarta bukan hanya simbol, melainkan juga cerminan tata nilai yang mendasari perencanaan dan pembangunan kota ini, mengajak kita untuk menghayati keselarasan dan keseimbangan dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here