Melihat Strategi Bongbong Marcos dan Prabowo Subianto dengan Mendominasi Pemilih Muda melalui Media Sosial

188
Prabowo Subianto (Foto : Instagram @prabowo)

BeritaYogya.com – Kata ‘Gemoy’ sering kali terdengar dari para pendukung Prabowo dalam berbagai kesempatan, seperti saat deklarasi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendukung Capres Prabowo Subianto pada 24 Oktober 2023, atau pada peresmian relawan Prabowo-Gibran. 

Tidak merasa tersinggung, Prabowo justru merespons dengan tawa, bertanya, “Apa itu sebenarnya gemoy?”

Baru-baru ini, kata ‘GEMOY’ muncul dalam tulisan Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden Prabowo, setelah pengundian nomor urut capres-cawapres di kantor KPU pada malam Selasa, (14/11/2023).

Belakangan ini, terutama dalam beberapa bulan terakhir, Prabowo terlihat santai di hadapan kamera dan wartawan. 

Hal ini sangat kontras dibandingkan dengan dua pemilihan presiden sebelumnya pada tahun 2014 dan 2019, di mana Prabowo terkesan kaku, militeristik, mudah tersinggung, dan berapi-api.

Ketika melihat ke era Pilpres 2014, Prabowo masih mempertahankan citra sebagai sosok militer yang tegas. Pada 9 Juli 2014, sebagai contoh, ketika Prabowo masih menjadi calon presiden pada Pilpres 2014, ia terlihat memarahi wartawan televisi seperti Berita Satu, Kompas TV, dan Metro TV setelah mencoblos di Tempat Pemungutan Suara di rumahnya. 

Pada periode ini, sikap keras Prabowo terhadap media juga terlihat pada konferensi pers pada 14 Juli 2014 di kantor Freedom Institute, Jakarta Pusat, di mana ia menyebut harian The Jakarta Post sebagai brengsek dan menuduh Sofyan Wanandi, salah satu petinggi The Jakarta Post, tidak demokratis.

Setelah menjadi oposisi setelah Pilpres 2014 dan hingga Pilpres 2019, Prabowo dan partainya menjadi kritis terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Kritik-kritik ini mencakup isu kebijakan utang dan pajak, serta pidato pada Maret 2018 yang membahas prediksi Indonesia bubar di tahun 2030. 

Pada masa kampanye Pilpres 2019, citra Prabowo yang keras dan emosional terus terlihat, terutama dengan insiden gebrak-gebrak meja podium di Stadion Kridosono, Yogyakarta, pada 8 April 2019, dan rekam jejak dugaan pelanggaran HAM penculikan aktivis ’98 yang melibatkan nama Prabowo.

Namun, citra Prabowo mulai melunak setelah ia menjadi Menteri Pertahanan dalam pemerintahan Jokowi pada Oktober 2019. Seiring berjalannya waktu dan mendekati Pilpres 2024, Prabowo terlihat lebih santai di depan kamera, terutama dalam unggahan media sosial dan kampanye politik. 

Perubahan ini mencakup penampilan yang lebih santai, seperti mengenakan hoodie putih dengan latar belakang langit, serta gaya berkomunikasi yang lebih dekat dengan audiens, terutama di media sosial.

Menjelang Pilpres 2024, Prabowo mengakui perubahan dalam dirinya. Pada acara HUT ke-59 Partai Golkar pada 6 November 2023, Prabowo menyatakan bahwa pengalaman dikalahkan dalam dua pemilihan sebelumnya telah membawanya untuk belajar dari Jokowi. 

Ia berkomitmen untuk mengikuti langkah Jokowi dengan mengajak semua pihak untuk bekerja sama membangun bangsa tanpa memandang kawan atau lawan politik.

Sara, keponakan Prabowo dan politisi Gerindra, memberikan pandangan bahwa perubahan dalam sikap Prabowo terjadi karena tekanan yang dialaminya saat menjadi oposisi. 

Meskipun ada perubahan dalam penampilan dan gaya komunikasinya, Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani, menegaskan bahwa esensi dan tujuan Prabowo tetap sama, yaitu persatuan dan kebersamaan.

Perang Semu di Udara

Transformasi citra dari sikap tegas menjadi lebih santai, yang disebut sebagai “gemoy,” dianggap sebagai strategi Prabowo untuk meraih dukungan pemilih muda (first voters) dalam rangka memenangkan Pemilu 2024, setelah mengalami dua kekalahan sebelumnya.

Survei Indikator Politik Indonesia per 26 Oktober 2023 menunjukkan elektabilitas pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka unggul dengan perolehan 36,1 persen, sementara Ganjar Pranowo-Mahfud MD mencapai 33,7 persen, dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 23,7 persen.

Pertarungan antara kandidat untuk mendapatkan dukungan publik, terutama dari pemilih muda, seperti generasi Z, menjadi semakin krusial. 

Data dari Komisi Pemilihan Umum mencatat bahwa dari total 204,8 juta pemilih dalam Pemilu 2024, lebih dari 50 persen di antaranya adalah pemilih muda. 

Generasi Z, dengan jumlah 46,8 juta jiwa atau 22,85 persen, dan milenial, dengan jumlah 68,82 juta jiwa atau 33,6 persen, menjadi kelompok dominan yang dianggap memiliki kontribusi besar dalam menentukan arah masa depan negara.

Survei menunjukkan bahwa media sosial menjadi sarana utama generasi muda untuk mendapatkan informasi politik, dengan lebih dari 90 persen responden memilihnya sebagai pilihan utama. Instagram terus menjadi platform media sosial paling populer dengan 173,59 juta pengguna pada tahun 2023, lebih dari separuh populasi negara. 

Dalam konteks ini, peran media sosial sangat penting dalam pertarungan politik Prabowo, terutama untuk mencapai pemilih muda.

Hasil survei oleh Tirto dan Jakpat menunjukkan bahwa Instagram merupakan media sosial yang paling banyak digunakan (71 persen responden) untuk mendapatkan informasi politik. Platform lain yang cukup kuat sebagai sumber informasi politik adalah TikTok, YouTube, dan Twitter.

Pemilih muda menyatakan bahwa aktivitas figur dan partai politik di media sosial dapat memengaruhi sentimen mereka. 

Lebih dari 90 persen responden yang menggunakan media sosial untuk mencari informasi politik menyatakan bahwa aktivitas tersebut berdampak pada pandangan mereka terhadap figur dan partai politik.

Partai Gerindra saat ini memiliki jumlah pengikut terbanyak di Instagram (670 ribu pengikut), diikuti oleh Partai Demokrat (598 ribu pengikut) dan PPP (497 ribu pengikut). 

Meskipun demikian, Partai Demokrat lebih aktif dalam mengunggah konten, dengan 8.142 unggahan dibandingkan dengan 3.198 unggahan dari Partai Gerindra.

Ketua Bapilu Partai Golkar, Maman Abdurrahman, bahkan menyebutkan rencana membentuk tim pendengung (buzzer) di media sosial untuk mendukung kemenangan Pemilu 2024. 

Tim ini akan terdiri dari kader-kader partai di seluruh Indonesia dan diharapkan dapat mengatasi pendengung non-organik yang cenderung merugikan citra Prabowo-Gibran.

Menyamai Bongbong Marcos

Bongbong Marcos (Foto : Instagram @bongbongmarcos)

Pada tanggal 5 Oktober 2021, putra Ferdinand Marcos dan Imelda Marcos, yang memimpin Filipina selama 21 tahun sebelum akhirnya digulingkan pada tahun 1986.

Ferdinand Romualdez Marcos Jr. atau biasa disebut Bongbong, mengumumkan pencalonannya untuk pemilihan presiden Filipina pada Mei 2022. 

Dia mengumumkan kampanye ini bersama pasangannya Sara Duterte, putri presiden saat ini Rodrigo Duterte. 

Bersama-sama, Marcos Jr. dan Duterte membentuk “Uniteam Coalition”

Terdapat banyak kontroversi selama kepemimpinan Marcos Sr., termasuk cap sebagai diktator korup. Beberapa analisis sejalan dengan pandangan bahwa kampanye melalui media sosial menjadi faktor penentu bagi kemenangan Bongbong.

Sebelum dipilih secara langsung oleh rakyat Filipina di bilik suara, Bongbong berhasil memenangkan pertarungan di media sosial dengan berhasil menarik perhatian segmen pemilih muda, memanfaatkan kemajuan teknologi dengan efektif.

Kemenangan Bongbong dihubungkan erat dengan penyatuan dua kekuatan dinasti politik: dia mengangkat putri Rodrigo Duterte, Sara Duterte, sebagai wakil presiden. 

Terdapat kesamaan “tidak disengaja” antara Prabowo dan Ferdinand “Bongbong” Romualdez Marcos Junior, Presiden Filipina.

Kampanye massif yang mengubah citra melalui media sosial dan menargetkan pemilih muda, serta penggandengan dengan Gibran, Wali Kota Surakarta dan putra sulung Presiden Joko Widodo, menunjukkan bahwa Prabowo seakan-akan meniru strategi Bongbong.

Pertanyaan muncul, apakah gaya dan tren yang beredar di dunia maya dapat menjadi metode yang efektif untuk mendulang suara pemilih muda di Indonesia? 

Menurut Wasisto Raharjo Jati, peneliti di Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia, Generasi Z akan menjadi segmen pemilih yang paling diincar oleh para peserta pemilu.

“Secara demografis, Generasi Z adalah bagian dari pemilih muda yang menyumbang 80 persen dari Daftar Pemilih Tetap, namun secara politik mereka masih cenderung awam sehingga dapat diarahkan dalam opini dan suara mereka,” tutur Wasisto pada Jumat (3/11/2023).

Perkembangan media sosial mengalami pergeseran, dari awalnya sebagai ruang publik alternatif untuk berekspresi, kini menjadi alat untuk mempengaruhi opini tertentu. 

Strategi mendapatkan dukungan melalui media sosial, kata Wasisto, telah menjadi keharusan dalam politik karena dapat menjangkau pemilih dengan lebih efektif dan efisien.

Namun, kelemahannya adalah tidak ada jaminan 100 persen bahwa suara di dunia maya akan berkonversi menjadi suara pemilih. 

Sebagian besar pemilih Bongbong sendiri tidak memiliki ingatan tentang people power tahun 1986. 

Hal yang sama berlaku untuk pemilih generasi muda saat ini yang mungkin tidak terlibat atau tidak tahu secara langsung tentang peristiwa 1998 di Indonesia.

Oleh karena itu, narasi damai perlu terus diperkuat oleh para calon presiden dan tim suksesnya.

Dinna Prapto Raharja, pendiri Synergy Policies, mengatakan bahwa meraih suara pemilih muda adalah impian semua partai karena diharapkan mereka dapat “disuapi” dengan informasi yang kekinian, tren, populer, tanpa perlu menjelaskan isu-isu yang dianggap berat, terutama terkait “beban politik masa lalu” dari setiap calon presiden dan wakil presiden.

“Filipina dan Indonesia punya konteks pemilih yang berbeda. Saat Bongbong kampanye, ia tidak malu-malu mengusung masa lalu ayahnya sebagai masa emas. Di Filipina, mereka cenderung sangat lekat emosinya dengan orang-orang dari daerahnya masing-masing. Pengikut Marcos masih besar loyalisnya di utara Filipina,” ungkap Dinna pada Jumat (3/11/2023).

Soal kemenangan Marcos Jr & Sarah Duterte jelas berbeda dengan konteks Indonesia. 

Menurut Dinna, di Filipina, dinasti politik cenderung menguasai wilayah tertentu, dengan setiap keluarga klan memegang kendali politik di berbagai tingkatan, mulai dari bupati, gubernur, hingga pejabat eselon, semuanya berasal dari satu keluarga. Keberadaan keluarga-keluarga ini terlihat lebih nyata karena mereka memiliki pasukan militer sendiri, baik yang sah maupun ilegal, karena Filipina tidak melarang kepemilikan senjata api.

Secara harfiah, hal ini mengindikasikan bahwa keluarga-keluarga di Filipina memiliki pengaruh politik yang kuat di wilayah tertentu. Keluarga Marcos, misalnya, memiliki dominasi di provinsi utara Ilocos Norte, sementara keluarga Duterte menguasai kota selatan Davao selama beberapa dekade.

Dengan menggandeng keluarga Duterte, Bongbong berharap dapat memenangkan basis suara dari pendukung Duterte dan menciptakan pemerintahan yang relatif stabil di masa mendatang. 

Penting diingat bahwa di Filipina, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara terpisah. Pemilih memberikan suara mereka dalam dua pemilihan yang berbeda, sehingga tidak diketahui sampai menit terakhir calon wakil presiden yang akan dipilih Bongbong – ini berbeda dengan sistem di Indonesia yang menggunakan satu tiket dari awal.

Jika terjadi situasi di mana presiden dan wakil presiden terpilih berasal dari partai politik atau platform yang berbeda, disebut sebagai skenario “split ticket.” Pemenangnya adalah kandidat presiden dan wakil presiden yang meraih jumlah suara tertinggi. 

Dinna memperingatkan bahwa di Indonesia, kendali teritorial lebih terkait dengan partai politik daripada keluarga, dengan partai-partai seperti PDIP, PKS, dan Partai Demokrat memegang kendali di wilayah-wilayah tertentu.

Dinna menyoroti adanya dua lawan politik bagi Prabowo, yaitu lawan politik elektoral dan lawan politik ideologis. Lawan politik elektoral dapat mencapai kesepakatan berdasarkan pertimbangan biaya-manfaat yang menguntungkan. 

Dalam konteks ini, ada insentif dan disinsentif, termasuk pemberian kursi atau pengungkapan kasus-kasus yang dapat membuat petinggi partai masuk penjara.

Lawan politik ideologis, di sisi lain, melibatkan aktivis demokrasi dan korban pelanggaran HAM, baik yang terkait langsung dengan Prabowo maupun yang tidak langsung, seperti buruh yang upahnya rendah atau rakyat yang tanahnya diambil. 

Dinna mengakui bahwa kelompok ini mungkin sulit untuk diajak berkompromi, terutama jika masih aktif berjuang.

Dalam konteks penggunaan media sosial, Dinna menyatakan bahwa meskipun dapat memperbaiki citra politik Prabowo, media sosial mungkin tidak cukup efektif. 

Dinna menekankan bahwa Prabowo, dengan rekam jejaknya sebagai pelanggar HAM, perlu bekerja keras untuk memenangkan hati pemilih muda yang tidak mengalami peristiwa seperti tahun 1998 atau masa Orde Baru. 

Meskipun mereka tidak mengalami langsung peristiwa-peristiwa tersebut, pemilih muda tetap memahami isu-isu lingkungan hidup dan berpartisipasi dalam diskusi tentang pelanggaran HAM, kejahatan korporasi, kebebasan berbicara, dan sejarah politik.

Dalam mengevaluasi perubahan citra Prabowo melalui media sosial, Dimas Bagus Arya dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan menyoroti konsep “politik amnesia.” 

Ia mengatakan bahwa ada upaya menggunakan ketidakpahaman generasi muda terhadap sejarah untuk kepentingan politik, dengan mengalihkan orientasi dari isu substansial ke narasi politik yang lebih bersifat gaya dan citra.

Dimas menyatakan bahwa pendekatan Prabowo dalam kampanye sosial media lebih menekankan politik narasi daripada substansi politik. 

Ia melihat bahwa komunikasi publik yang dibangun cenderung berkaitan dengan narasi politik mengenai gaya dan citra, tanpa membahas ide atau gagasan politik yang ditawarkan Prabowo kepada generasi muda.

Perubahan gaya Prabowo, yang sekarang dianggap jenaka dan disukai oleh anak muda, merupakan poin kontras dengan citra keras dan tegas yang ditampilkan pada Pemilu 2019. Meskipun perubahan ini dapat mempengaruhi citra dan elektabilitasnya, Dimas mengingatkan bahwa hal tersebut bisa menjadi bumerang karena generasi muda memiliki keterbatasan dalam memahami sejarah.

Dimas mengingatkan bahwa penggunaan politik narasi dan kurangnya fokus pada isu substansial, seperti HAM, dapat memperumit jalannya pemerintahan dan politik di Indonesia. Ini juga dapat berdampak pada pemahaman rezim saat ini tentang pentingnya HAM dan prinsip hukum. 

Dimas berpendapat bahwa penegakan hukum dan HAM harus dilakukan oleh individu yang tidak memiliki catatan hitam terkait pelanggaran HAM dan hukum, untuk memastikan upaya-upaya membalikkan situasi lebih kolaboratif dan komprehensif.

Seorang pegiat media sosial, Enda Nasution, menekankan bahwa menguasai media sosial bukanlah satu-satunya faktor kemenangan, dan tidak dapat dijamin bahwa seluruh generasi muda akan terpengaruh oleh informasi dari media sosial. 

Enda menegaskan bahwa hal yang sama berlaku untuk semua kandidat presiden, dan bahwa kemampuan dalam menggunakan media sosial hampir seimbang di antara mereka. Pemilih muda dapat tetap bersikap logis dan rasional dalam membuat keputusan, tidak sepenuhnya terpengaruh oleh video atau konten di media sosial.

Dalam kesimpulan, berbagai dinamika politik dan strategi komunikasi tampaknya memainkan peran penting dalam pemilihan presiden di Indonesia, dengan fokus pada kontrol teritorial, dinasti politik, pemahaman sejarah, dan pengaruh media sosial.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here