BeritaYogya.Com – Aksi-aksi pemaksaan atribut keagamaan yang masih terus terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sangat mencoreng falsafah yang di anut leluhur dan masyarakat hingga saat ini.
Kejadian terakhir aksi tidak terpuji dilakukan oleh Oknum Youtuber yang membuat konten eksperimental tentang pemaksaan penggunaan Jilbab di Malioboro.
Pemda DIY yang mengetahui hal ini pun ambil suara. Sekda DIY, Baskara Aji saat ditemui di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin (29/08/2022) meminta semua pihak menghormati keberagaman DIY. Mereka tidak boleh melakukan pemaksaan pada orang lain yang memiliki perbedaan keyakinan.
“Maka yang melakukan pemaksaan penggunaan jilbab mohon jangan melakukan hal seperti itu karena kekerasan atau pemaksaan terhadap hal-hal yang tidak semestinya itu justru nanti akan kontraproduktif terhadap keamanan dan ketentraman masyarakat,” paparnya.
Menurut Aji, Pemda DIY sebenarnya sudah mengingatkan pada semua pihak untuk bisa menghormati keberagaman DIY. Sebagai miniatur Indonesia, banyak masyarakat dari berbagai suku, ras dan agama yang tinggal dan hidup berdampingan di kota ini.
Terkait beredarnya video tentang pemaksaan penggunaan atribut keagamaan di Kawasan Sumbu Filosofi ( Kawasan Malioboro ), Dr. R. Stevanus C. Handoko S.Kom., MM anggota DPRD DIY dari Partai Solidaritas Indonesia memberikan pernyataan tentang hal tersebut.
Menerut Dr. R. Stevanus, Jogja sejak awal berdiri merupakan Negeri yang sangat majemuk dengan berbagai latar belakang. Dikarenakan kemajemukannya, Yogyakarta memiliki berbagai pedoman hidup yang sangat luhur untuk saling menjaga beragamaan, kebhinekaan dengan rasa saling menghormati, tenggang rasa, toleransi, solidaritas, gotong royong tanpa membedakan latar belakang agama dan kepercayaan.
“Aksi yang dilakukan di Kawasan Malioboro dan kita tahu bersama Malioboro merupakan Sumbu Filosofi Yogyakarta, sangat mencoreng “Jogja City of Tolerance” dan mencoreng falsafah budaya yang terkandung dalam Sumbu Filosofi “ Ujar Dr. R. Stevanus
“Sebagai miniature Indonesia, Yogyakarta dikenal dengan keberagamaan namun memiliki semangat toleransi, tenggang rasa, salaing menghormati yang sangat tinggi sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Sudah seharusnya tindakan-tindakan yang berpotensi membuat situasi di Yogyakarta tidak lagi nyaman segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah (Pemda DIY)”, ungkap Dr. R. Stevanus.
Menurut Dr. R. Stevanus, Malioboro sebagai pusat dan icon Yogyakarta sangat tercoreng dengan berbagai kegiatan yang tidak mencerminkan Kawasan sumbu filosofi yang menghargai perbedaan, menghargai keberagaman dan aksi tersebut sangat nyata tidak menghargai budaya asli Yogyakarta yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang merdeka, hidup berdampingan dengan perbedaan.
“Pemda DIY dan Pemkot Jogja harus berkolaborasi dan sinergi untuk dapat melakukan tindakan terukur dan tegas terkait dengan hal tersebut dengan melibatkan berbagai pihak. Jangan sampai Daerah Istimewa Yogyakarta dicitrakan sebagai wilayah yang tidak lagi Toleran dengan banyaknya bermunculan kasus-kasus anti keberagamaan.” Ujar Dr. R. Stevanus
Selain itu Dr. R. Stevanus juga berharap semua pihak yang terkait langsung dengan Kawasan sumbu filosofi (Kawasan Malioboro) untuk dapat memonitor, mengawasi bersama gerakan-gerakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan Yogyakarta dan mau ikut serta menjaga kawasan tersebut tetap sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam Sumbu Filosofi.
“Semoga kejadian terakhir, tidak menjadi preseden buruk terlebih, Pemda DIY sedang mendorong Kawasan Sumbu Filosofi menjadi Kawasan Warisan Budaya Dunia ke UNESCO”, pungkas Dr. R. Stevanus anggota komisi D DPRD DIY.